Suatu
hari, penghuni kerajaan beserta rakyatnya sedang ramai membicarakan dan
menghina si Miskin dan istrinya karena melihat pakaian mereka yang
compang-camping. Mereka sampai melempari si Miskin dan istrinya dengan kayu dan
batu hingga tubuh sepasang suami istri itu berlumuran darah. Baginda yang
mendengar suara keributan segera bertanya pada salah satu pengawalnya.
“Ada
keributan apa di luar?” tanya Baginda.
“Ya
Baginda Raja yang Agung, orang-orang sedang melempar si Miskin.”
“Si
Miskin yang menjijikkan itu? Usir dia dari kerajaanku!” titah Baginda sambil
mengacungkan telunjuknya keluar jendela istana.
“Baik,
Baginda.” Pengawal bergegas mengusir si Miskin dan istrinya yang berlumuran
darah itu. Si Miskin dan istrinya terus berjalan hingga tiba di tepi hutan.
Hari
mulai gelap, orang-orang sudah kembali ke rumahnya masing-masing sementara si
Miskin dan istrinya tidur di tepi hutan dan ketika siang ia masuk ke wilayah
kerajaan untuk mencari makan. Ketika ia berjalan menyusuri rumah-rumah rakyat,
ada yang melihatnya dan melemparinya dengan kayu. Begitu juga ketika ia pergi
ke pasar, jika orang pasar melihatnya mereka pasti melemparinya dengan batu
bahkan memukulnya dengan kayu. Si Miskin yang sudah dihajar habis-habisan
segera pergi, ia lari tunggang langgang sambil menangis karena belum sempat
menemukan makanan. Ahirnya ia menemukan tempat pembuangan sampah, lalu
dibongkar dan dicarinya makanan yang masih layak dimakan, hingga dia menemukan
sebuah ketupat yang sudah basi dan membawanya pulang untuk dimakan berdua
dengan istrinya. Si Miskin takut jika harus meminta makanan langsung ke rumah
orang, jangankan diberi makanan datang ke pemukiman saja ia sudah dilarang.
Si
Miskin pun kembali ke hutan, lalu dibersihkannya darah-darah yang berlumuran di
tubuhnya dan setelah selesai baru ia tidur. Ketika hari sudah pagi, si Miskin
mengeluh.
“Tubuhku
rasanya mati rasa, dimana-mana sakit semua” tangisnya. Istrinya yang merasa
kasihan segera menghaluskan daun kayu dan dipoleskan ke tubuh suaminya.
“Suamiku,
bertahanlah. Semoga sakitnya akan berkurang” kata istrinya sambil memeluk si
Miskin.
Tak
lama kemudian, istri si Miskin hamil tiga bulan dan mengidam buah mempelam yang
berada di taman raja. Si Miskin terkejut atas pemintaan istrinya.
“Istriku,
mana mungkin aku membawakanmu buah mempelam yang ada di taman raja. Kau tau kan
kejadian beberapa bulan yang lalu? Kau ingin membunuhku? Jangan meminta sesuatu
yang tidak mungkin!” Mendengar perkataan si Miskin, istrinya pun menangis.
“Baiklah,
akan kubawa buah mempelam dari taman raja itu untukmu, tapi jangan menngis
lagi.” Si Miskin segera pergi menuju pasar untuk mencari buah mempelam. Ketika
melihat penjual buah mempelam dan berhenti dihadapannya. Ia takut jika
memintanya, ia akan dilempari lagi dengan batu dan kayu.
“Apa
maumu?” Tanya penjual buah mempelam.
“Begini
tuan, istri saja sedang hamil dan dia sedang mengidam buah mempelam. Kalau
boleh saya meminta buah mempelam busuk tuan, hanya satu saja.”
Beberapa orang
pasar yang mendengar perkataan si Miskin tiba-tiba merasa iba dengannya, ada
yang memberi buah mempelam, nasi, hingga pakaian. Si Miskin merasa heran denga
perubahan sikap orang-orang itu.
“Kenapa
mereka jadi baik begini kepadaku? Dulu, aku bahkan selalu dilempari kalau
bertemu dengan mereka” kata si Miskin di dalam hatinya.
Lalu
si Miskin kembali ke hutan dan menceritakan kejadian di pasar tadi. Kemudian
diserahkannya buah mempelam itu kepada istrinya, namun istrinya langsung
menginjak buah itu hingga hancur. Istrinya langsung menangis.
“Aku
hanya mau buah mempelam yang ada di taman raja, bukan dari pasar! Kalau begitu
lebih baik aku mati saja!”
Tak tahan lagi
atas kelakuan istrinya maka dengan segala keberanian si Miskin pergi ke
kerajaan dan menemui Baginda.
“Hai
Miskin, mau apa kau kemari?” Tanya Baginda.
“Ampun
Baginda Raja yang Agung, dapatkah hamba yang hina ini meminta daun mempelam
yang gugur di taman tuanku?” Tanya si Miskin sambil berlutut dihadapan Baginda.
“Mau
kau apakan daun mempelam yang gugur itu?” Tanya Baginda.
“Untuk
dimakan, Tuanku.” jawab si Miskin.
“Ambil
setangkai penuh daun beserta buahnya dan berikan kepadanya.” Perintah Baginda
kepada salah seorang pengawalnya, ketika setangkai buah mempelam itu diberikan
kepada si Miskin, ia berlutut lagi dihadapan Baginda, lalu ia kembali ke hutan
dan memberikan buah mempelam itu kepada istrinya. Istrinya gembira dan langsung
memakan buah mempelam itu.
Beberapa
bulan setelah itu, istri si Miskin menangis ingin makan nangka yang berada di
taman raja. Lalu, si Miskin pergi ke kerajaan dan berlutut dihadapan Baginda.
“Apa
lagi yang kau inginkan?” Tanya Baginda.
“Ampun Baginda, dapatkah hamba
meminta sehelai daun nangka yang gugur?” si Miskin lagi-lagi bersujud dihadapan
Baginda.
“Baiklah, kuberi kau sehelai daun
nangka.” jawab Baginda.
Si Miskin pun berterimakasih kepada
Baginda dan segera kembali menemui istrinya. Ketika sudah tiba, istrinya dengan
senang menyambut si Miskin dan memakannya dengan lahap. Selama istrinya hamil,
si Miskin banyak mendapat mendapatkan makanan, pakaian, perkakas, beras, dan
yang lainnya segabai pemberian orang. Tak lama kemudia, istri si Miskin pun
melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan dan diberi nama Markomah yang
artinya anak di dalam kesulitan. Si Miskin sangat menyayangi anaknya, dia tak
sanggup berpisah terlalu jauh dengan putranya.
Suatu hari, si Miskin menggali tanah
untuk mendirikan tiang teratak sebagai penyokong tempat tinggal mereka bertiga.
Lalu, ketika sedang menggali, si Miskin mnemukan sebuah peti besar yang berisi
emas yang banyak. Lalu istrinya datang dan terkejut melihat temuan suaminya.
“Suamiku, emas ini takkan habis
dipakai belanja hingga anak cucu kita.”
Tentukan tema yang terdapat pada cerpen ini. 2. Dimana latar kejadian cerpen ini. 3. Siapakah yang ada dicerpen ini. 4 apa amanat atau pelajaran yang dapat disimpulka
ReplyDelete